True Story* C E R P E N


ROMANTIKA ALFIYYAH IBNU MALIK



“Bangun Sof. Sudah cukup kan tidur siangmu? Jam 3 ayah akan mengantarkanmu ke pondok pesantren lagi” kata ibuku yang tiba-tiba masuk ke kamar dan membangunku.
“Jam 4 saja ibu.” Jawabku dengan nada malas dan berat hati untuk kembali beradaptasi dengan lingkungan baru lagi di pesantren. 
Kehidupan dunia pesantren adalah kehidupan yang paling ideal. di pesantren masih bisa kita temukan keikhlasan, kejujuran, hingga kebersamaan. Di pesantren kita tidak hanya belajar dan mendalami ilmu keagamaan saja, tapi juga ilmu sekolah umum dan ilmu sosial kemasyarakatan. Kita juga akan dibekali bagaimana hidup bermasyarakat nanti. Pesantren sangatlah unik dengan nilai-nilai orisinal yang tidak mudah diintervensi pihak manapun juga. Saat kamu sudah berjuang di luar dunia pesantren, pandai-pandailah membedakan antara vitamin dan formalin. Jangan mudah tertipu. Bawalah nilai-nilai pesantren yang kamu terima dan resapi selama ini. Sampai kapanpun, nilai-nilai pesantren tidak akan berubah. Nilai-nilai pesantren tidak boleh berubah dan tidak boleh ada yang berubah.
Perkenalkan. Namaku Syifa Raufani Sofiana. Biasa dipanggil  Sofi. Aku benar-benar menetap di pondok pesantren yang jauh dari rumah sejak 6 tahun silam, tapi ini adalah tahun kedua aku berada di pondokku yang baru yaitu Pondok Pesantren As-syafa’at. Aku sudah dua kali berpindah pondok pesantren dan hari ini adalah hari pertama masuk pesantren setelah libur panjang puasa ramadhan dan hari raya idul fitri. Saat ini aku sudah naik kelas diniyah di kelas 2 wustho atau alfiyyah tsani. Targetnya tahun ini harus bisa dol alfiyyah 1002 nadzom supaya bisa ikut wisuda.
“Sudah liat pengumuman kelas diniyah?” tanya teman-temanku yang sudah ramai membicarakan hal tersebut.
“Memangnya sudah ada?”
“Sudah. Ada di mading pengumuman depan kantor pesantren.”
“Siapa mustahiq (wali kelas) mu?” tanyaku penasaran.
Pertanyaan pertama dan yang paling utama saat ini menurutku adalah siapa mustahiq (wali kelas) kita. Karena mustahiq memiliki peranan yang sangat penting juga dalam keberhasilan siswa. Ketika kelas 1 wustho kemarin misalnya, ketelatenan dari mustahiq juga yang mengantarkan kami sampai kami bisa dol (selesai hafalan) di madrasah. Kelasku juga terkenal dengan kelas mantan tunggakan dan lumayan terkenal tidak baiknya. Ya, mungkin karena banyaknya anak yang tidak naik kelas saat itu. Banyak yang bertanya kenapa aku bisa masuk dikelas ini. Entahlah, dulu aku masih santri baru dan aku ikut saja keputusan dari pengurus yang memasukkanku ke kelas itu. Aku hanya berharap semoga ini memang yang terbaik untukku. Percayalah, apa yang menurut kita baik, belum tentu baik menurut Allah dan begitupun sebaliknya. Allah pasti akan memberikan yang terbaik untuk kita. Meski kelas tunggakan, tapi setidaknya kelasku pernah berhasil menjadi juara pertama muhafadzoh dengan presentase terbanyak dari kelas 1 wustho putra dan putri.
1 H Wustho
“Mbak. Saya siswi baru. Duduk dimana ya?” tanyaku kepada ketua kelas ketika aku pertama kali masuk kelas.
“Salamnya Ustadzah Diah siswi baru suruh duduk di bangku paling depan sebelah kanan.” Sahut salah satu siswi yang baru saja datang.
“Oh di depan sana mbak.” Kata ketua kelas. “Mari saya antar.”
Awal pertama aku masuk di kelas ini aku sudah mendapatkan sambutan yang sangat baik. Untuk siswi baru diberi tempat duduk paling depan. Jadi aku tak perlu repot mencari bangku atau meja lagi. Bayangkan saja, aku yang masih baru dan tak mengenal siapapun di kelas itu kalau sampai aku tak dapat bangku. Mustahiq ku baik, ramah dan sangat telaten dengan anak-anaknya. Ustadzah Diah namanya. Ketika teman-temanku sekelas sudah akan menyotarkan hafalan nya ke madrasah sebagai persyaratan kenaikan kelas, aku masih baru akan memulai hafalan. Pelajaran pun aku juga tertinggal jauh. Ya resiko santri baru, harus masuk terakhir karena harus mengikuti rangkaian kegiatan santri baru termasuk menunggu tes dan pengumuman pembagian kelas diniyah. Disini, hafalan menjadi prioritas utama, tidak dol (selesai) hafalan sesuai target yang telah ditentukan ya tidak naik kelas. Begitulah.  Wustho adalah masa-masa yang paling terindah katanya. Sesuai dengan hadits nabi “Khoirul umuuri ausathuha” sesuatu yang paling baik adalah tengah-tengahnya. Dan itu adalah kelas kita sekarang, Wustho. Bukan Ulya, apalagi Ula. Wustho, yang hafalan wajibnya adalah Alfiyyah 1002 nadzom agar bisa ikut wisuda. Tapi untuk persyaratan kenaikan kelasnya 300 nadzom untuk kelas 1 wustho dan 500 nadzom untuk kelas 2 wustho. Alfiyyah pun terkenal dengan filoSofinya. Yang katanya selalu ngelabeti dengan penghafalnya. Nadzom apa yang sedang dihafal sesuai dengan  keadaan orang yang menghafalkannya. Seperti maushul, jembatan penghubung menuju shilah yang selalu ditunjang tiang kokoh bernama A’id. Ada pula shodar shilah dengan segala macam kerumitannya. Isytigol, yang konon katanya selalu membuat orang orang merasa tersibukkan. Tanazu’, kisah cinta segitiga paling abadi dan paling indah dalam dunia nahwu.  Dan masih banyak lagi bab-bab dalam alfiyyah yang memiliki makna dan kandungan tersendiri.
Alfa’ilul ladzi kamarfu’ay ataa. Zaidun muniiron wajhuuhu ni’mal faataa. Ada yang tau filoSofi dari nadzom ini?” tanya Ustadzah Diah setelah menerangkan bab fa’il tersebut.
“Apa Ustadzah?” teriak anak-anak yang penasaran.
“Akan ada seseorang laki-laki yang datang, ataa zaidun (Zaid datang).” Jelas Ustadzah.
“Wah. Sesuai Sof. Aku sekarang juga sampai pada bab ini dan benar saja terjadi seperti itu. Tadi siang tepatnya. Sudah lama aku tak melihat dan tak bertemu dengannya. Tapi ternyata tadi kami bertemu di kampus dan aku baru tau kalau ternyata dia kuliah disini juga.” Kata teman sebangku dengan nada sedikit berbisik.
“Wah. Keren sekali mbak. Berarti memang benar ngelabeti ya nadzom alfiyyah ini?” kataku.
“Kau sudah sampai nadzom apa?”
“Bab isytigol mbak.”
“Wah. Gimana? Ada kisah menarik apa dengan bab isytigolmu Sof?”
“Apa ya mbak?” aku berpikir keras.  “Gak ada apa-apa.”
Begitulah adanya. Tak ada masa-masa spesial atau kejadian yang sesuai dengan nadzom apa yang sedang aku hafalkan. Semua biasa saja. Tapi disini bisa mendapatkan 200 nadzom dalam waktu 1 bulan itu sudah membuatku senang luar biasa. Gak nyangka aja. Karena sebelumnya aku bisa dol (selesai hafalan) nadzom imrithi yang hanya 254 nadzom dalam waktu 1 tahun. Itu pun juga karena mustahiqku yang terus mendukung dan memantau perkembangan hafalanku saat itu. Sampai akhirnya memberiku hadiah buku yang sudah lama aku inginkan. Buku Kang Santri dari Lirboyo, Kediri. Karena di pondokku sebelumnya hafalan bukan menjadi prioritas utama. Maka ketika ada yang bisa dol, mustahiq pun akan sangat mengapresiasi itu. Dan saat di 1 Wustho ini pun mustahiqku begitu juga. Beliau juga memberiku hadiah di akhir semester ketika pembagian raport. Masalah hafalan, setiap hari setoran dibeliau minimal 10 nadzom. 29 Juli 2016 awal pertama aku masuk kelas dan mulai menghafalkan alfiyah. Ketika teman-teman sudah hampir setor ke madrasah diniyah (madina) dan aku baru mulai hafalan karena aku santri baru. 10 Oktober 2016 setor 300 nadzom di Ustadzah Fitri sebagai persyaratan kenaikan kelas dan 22 Februari 2017 setor 500 nadzom di Ustadz Najib untuk dapat sertifikat. Dan selesai, emang target dari awal kelas 1 wustho bisa dol 500 nadzom. Meski kalau pada akhirnya ini adalah kesalahan yang sangat besar. Seandainya aku dol di kelas 1 wustho aku bisa dapat beasiswa dan wisuda bareng kakak kelas 2 wustho. Keren kan? Seharusnya aku bisa. Yakin saja aku pasti bisa. Biarkan alam bawah sadarku menangkapnya kalau aku yakin bisa dan menjadikannya nyata terjadi. Tapi nyatanya aku sudah mendapatkan informasi yang salah di awal, maka seterusnya pun salah. Seperti yang katanya kalau yang dol kelas 1 wustho tetap ikut wisudanya besok ketika 2 wustho dan lain sebagainya. Ya sudah tak apa. Namanya juga penyesalan pasti adanya di belakang. Kalau di depan namanya peringatan kan?
**
Sekarang, setelah libur panjang hari raya ini sekolah diniyah pun akan kembali aktif.
“Gimana? Dikelas berapa?” tanya adikku (keponakan) ketika aku sampai di asrama setelah melihat pembagian kelas di mading pengumuman.
“2 F Wustho.”
“Siapa mustahiqnya? Katanya Ustadzah Diah tidak lanjut ya?”
“Iya. katanya sih Ustadz. Tapi entahlah siapa. Gak ada namanya disana.”
“Wah laki-laki? Biasanya laki-laki itu gak setelaten perempuan. Hati-hati hafalanmu. Jangan sampai kendor gara-gara mustahiqmu laki-laki.”
“Semoga tidaklah.”
 Aku sudah tak berdoa untuk meminta Ustadz siapa yang akan menjadi
mustahiqku nanti. Aku hanya berdoa semoga yang terbaik. Dan alhamdulillah, benar saja. Mustahiqku 2 wustho ini benar-benar membuat masa-masa wusthoku menjadi sangat berarti. Banyak cerita. Dan mungkin sangat berkenang dan berkesan. Yang mungkin akan ku ceritakan sebagiannya saja. Di kelas 2 F Wustho dengan mustahiq Ustadz Ahmad Bagus Imam Syahputra. Biasa dipanggil Ustadz Ahmad. Siapa dan bagaimana beliau aku benar-benar belum tau sebelumnya.
“Assalamu’alaikum wr.wb.” beliau mulai masuk kelas dan ini adalah hari pertama kita masuk dikelas. Aku benar-benar tidak tahu siapa beliau dan belum pernah melihat sebelumnya. Tapi teman-teman sudah ramai ketika melihat beliau masuk kelas dan sepertinya sudah banyak yang mengenalnya. Beliau memang termasuk Ustadz yang sering di putri. Katanya ada yang pernah dekat dengan juga beliau dikelasku. Ah masalah pribadi kan? Mereka di gojlok habis-habisan dikelas.
“Perkenalan dulu Ustadz.” Teriak teman-teman di kelas.
Beliau pun hanya diam, menunduk, dan menuliskan namanya di papan tulis.
Ahmad Bagus Imam Syahputra. “Biasa dipanggil Ahmad.” Kata beliau setelah duduk kembali di bangkunya. Dengan terus menunduk dan tak berani memandang wajah anak-anak karena semuanya perempuan.
“Sungguh. Ini Ustadz benar-benar menjaga pandangannya dari perempuan.” Batinku.
Hari pertama ini pun hanya diisi dengan perkenalan mustahiq, pembagian ketua kelas, dan beberapa peraturan dikelas termasuk masalah setoran nadzoman (muhafadzoh). Ada 5 grup dan setoran minimal 3. Itu berarti kita hanya akan disemakkan oleh mustahiq seminggu satu kali setiap anak. Oh tidak, padahal sebelumnya kita sudah terbiasa setiap hari setoran di mustahiq. Dan kalau hafalan hanya 3 nadzom pun aku yakin gak akan bisa selesai 1002 nadzom di kelas 2 wustho ini. Belum lagi lalarannya. Maka aku mencoba untuk tetap istiqomah setoran 10 nadzom minimal setiap harinya. Meski akhirnya ternyata aku tidak bisa. Dan aku setoran sebisaku saja. Setelah salam untuk pulang, beliau tidak langsung beranjak dari tempat duduknya. Beliau menyuruh kita dulu yang keluar. Padahal biasanya, tak ada yang berani berjalan di depan Ustadz, kita akan selalu di belakangnya. Tapi ini tidak. Sungguh, beliau selalu memastikan kalau anak-anak sudah pulang dengan baik dan tak tertinggal apapun di kelas. Pernah ketika itu ada barangku yang tertinggal di kelas dan aku pun kembali bersama temanku.
“Kenapa kok kembali lagi?”“
“Pulpen saya tertinggal di kelas tadz.”
"Berani kesana sendiri? Lampunya sudah saya matikan.”
Saya pun hanya menggelengkan kepala. Tak berani.
“Mari saya antar.”
Sungguh. Terharu sekali aku saat itu. Sampai sebegitu baiknya. Beliau masuk ke kelas dan menghidupkan lampunya. Aku pun masuk bersama temanku untuk mengambil pulpennya. Beliau menunggu sampai kami keluar.
“Terima kasih Ustadz.”
Beliau hanya tersenyum dan mengangguk.
**
Di asrama.
“Gimana mustahiqmu?” tanya adikku lagi.
“Ustadz Ahmad namanya. Beliau lucu sekali. Sering membuat kami tertawa tapi ekspresinya tetap datar saja. Juara RMI Stand up Comedy sih katanya. Pinternya luar biasa, sudah tidak diragukan lagi. Sering menjadi juri tes kitab dan membimbing mereka yang akan ikut lomba baca kitab diluar pesantren. Tapi masih terlihat malu sekali. Mungkin karena baru pertama kali ini jadi mustahiq di putri. Tapi entahlah. Beliau tak berani melihat anak-anak dan banyak menunduknya. Sangat menjaga pandangan. Baik juga”
“Subhanallah. Perfect lah ya? Kayaknya kelasmu dijamin gak akan garing deh. Tapi setoran nadzomnya gimana?”
“Itu dia masalahnya. Setoran minimal 3 nadzom setiap harinya di ketua grup masing-masing. Yang dibeliau digilir bergantian. Jadi hanya sekali dalam seminggu yang setorannya di beliau.”
“Iya masalah kalau itu Sof. Kamu yakin bisa kalau setorannya gak di mustahiq setiap hari?”
“Entahlah.” Jawabku malas. Mungkin karena dulu aku sudah terbiasa setoran setiap hari di mustahiq. Setiap hari benar-benar di pantau. Jadi gak ada ceritanya malas setoran ketika itu. Tapi sekarang? Pasti benar-benar semangat hafalannya hanya seminggu sekali ketika setoran di mustahiq saja. Mungkin menurut sebagian orang motivasi terbesar itu seharusnya ada pada diri kita sendiri. Tapi tidak menurutku. Aku butuh orang lain untuk mendukung dan mengingatkanku ketika aku mulai malas. Manja? Terserah lah kalian mau bilang apa. setiap orang punya karakter dan sifat masing-masing kan?
**
Malam itu setelah setoran untuk pertama kalinya di depan kelas, beliau bertanya;
“Kuliah?”
“Iya Tadz.”
“Semester berapa?”
“Semester 3.”
“Jurusan?”
“Tadris Bahasa Inggris.”
“Rumahnya dimana?”
“Parijatahwetan, Srono Tadz.”
Sepertinya ini awal perkenalan dan percakapan kita dulu.  Menurutku beliau mustahiq laki-laki yang telaten dalam memantau perkembangan anaknya. Setiap anak pasti akan mendapatkan pertanyaan seperti itu di awal setorannya. Mendapatkan perhatian dan semangat ketika setorannya mulai mengendor.  Masalah absensi beliau juga sangat tegas. Tidak ada surat izin berarti alfa. Terlebih lagi dalam hal setoran muhafadzohnya. Beliau sampai paham betul permasalahan setiap individu. Meski terkadang anak-anak aja yang kurang merespon dengan baik. Tak lebih dalam waktu dua minggu pun beliau  sudah bisa hafal nama teman-teman dikelas. Sudah tidak lagi memegang absen ketika menunjuk teman-teman. Menjelaskan pelajaran dengan tidak melihat ke wajah anak-anaknya. Sangat menjaga pandangan dan wudzunya. Sering sekali ketika pertengahan menjelaskan tiba-tiba keluar kelas, ke kamar mandi dan terlihat seperti setelah wudzu. Untungnya, keterangan dari salah satu kitab yang pernah saya tau dulu  yang insyaa allah ada di kitab Tanhiqul Qoul adalah ketika memandang wajahnya orang alim atau guru kita, maka kita akan mendapatkan 1000 kebaikan. Aku hanya  tidak bisa membayangkan kalau kita juga harus menjaga pandangan dan tidak boleh memandang wajah guru yang lawan jenis dengan kita ketika beliau mengajar. Akan betapa susahnya kita nanti dalam belajar.
“Paham semua rek? Ada pertanyaan tidak? Mbak Sofi paham?” tanya beliau setelah menerangkan yang akhirnya tertuju kepadaku.
“Gak ada Tadz. Paham.” Sahut anak-anak yang lain.
Aku memang suka bertanya dari dulu. Aku tak malu untuk menanyakan pelajaran yang memang belum aku paham. Termasuk sampai saat ini pun begitu. Maka seharusnya wajar saja kalau beliau pun begitu, sering menunjukku dan bertanya dengan menyebutkan namaku begitu. Karena selama ini belum pernah ada yang sampai disebutkan namanya oleh beliau seperti itu. Meski terkadang sering juga ketika beliau bertanya aku sedang tak ada pertanyaan yang ingin ditanyakan. Tapi ketika aku ingin bertanya beliau tak bertanya apakah kita sudah paham dan tak memberi kesempatan.
“Mulai besok yang menerangkan kalian. Dimulai dari absen pertama. Nanti baru saya menambahkan sedikit keterangannya diakhir.” Peraturan baru dari beliau.
“Besok dilanjutkan 5 nadzom setelahnya. Di persiapkan dan dipelajari dulu ya.” tambahnya.
Awalnya anak-anak setuju. Tapi lama kelamaan banyak yang protes dan tidak mau lagi. Akhirnya pun mereka tau dan bisa merasakan. Betapa susahnya menerangkan di depan.
“Ya sudah Sofi saja besok yang maju.” Beliau selalu begitu. Ketika menunjuk anak-anak gak ada yang mau dan pilihan terakhir selalu menunjukku. Sungguh, aku selalu tak sanggup untuk menolak perintah guru. Yang aku pikirkan hanyalah ridhonya guru. Siapapun gurunya. Bahaya sekali kalau kita sampai tidak mendapatkan ridhonya guru. Pasti tidak akan manfaat ilmunya. Jadi aku pun pasti tak akan menolak kalau disuruh maju menerangkan. Meski sering tanpa persiapan, karena sering juga beliau menunjuk secara langsung ketika dikelas dan maju saat itu juga. Kadang sudah persiapan tapi tak disuruh maju, selalu begitu. Dan pada akhirnya aku pun mulai terbiasa. Meski sebenarnya keteranganku juga tidak terlalu memahamkan dan aku juga tak terlalu pandai mengambil suasana. Terlalu datar biasanya. Tapi tetap saja beliau senang menunjukku. Ya mungkin karena memang pilihan terakhir dan tak ada lagi yang mau maju. Karena bisa dibilang aku juga bukan termasuk anak yang paling pintar dikelas. Pun rajin saja menurutku tidak cukup.
 Af’ailatun af’ulu tsumma fi’lah. Tsumma ..... tsummata ....eehhmm ..... Sudah ya Ustadz.  Lupa lanjutannya.” Setoranku pun mulai tidak lancar.
Dan beliau hanya menggelengkan kepala.
Af’ailatun af’ulu tsumma fi’lah. Tsumma ..... tsummata .... Tsummata af’alun jumuu’un qillah.”  Akhirnya ingat. “Sudah tadz.”
“Kenapa? Kok tumben cuma setor  5 dan gak lancar seperti biasanya. Ada masalah?” tanya beliau kepadaku dengan penuh rasa ingin tahunya.
“Gak ada Ustadz. Kurang persiapan saja mungkin.”
“Sibuk apa sekarang? Di pondok jadi apa?”
“Ketua kamar, Tadz.”
“Wuihh. Keren. Di kampus?”
“Jadi pengurus BEM dan ikut salah satu organisasi ekstra kampus. Saya jadi sekretaris.”
“Apa yang kamu cari di organisasi ektra kampusmu itu fi? Menurutku tak ada baiknya. Mengatasnamakan agama tapi suka ramai dan membuat gaduh. Gunakan waktumu sebaik mungkin. Besok harus lebih banyak dari ini ya setorannya dan lancar.”
“Tapi Tadz.” Aku mencoba memberanikan diri untuk mengatakannya.
“Kenapa fi?”
“Dulu biasanya setiap hari setoranya di mustahiq. Sekarang satu minggu sekali, saya rasa kurang maksimal saja tadz. Kalau setorannya di anak-anak itu gak ada tuntutan dan gak ada yang mengingatkan kalau lagi males.”
“Jadi Sofi maunya setiap hari setorannya di saya?”
“Kalau Ustadz berkenan, kalau tidak ya tidak apa-apa tadz.”
“Ya sudah. Mulai besok setiap hari setoran di saya. Tapi ketika anak-anak sudah selesai setoran semuanya saja ya? Ketika pulang diniyah.”
“Oh iya Tadz.”  Aku pun kembali ke bangkuku  lagi.
Duh maafkan saya Ustadz yang sepertinya manja sekali sampai minta disemakkan setiap hari. Batinku malu. Tapi demi alfiyyah dan aku harus segera dol.
Bukan hanya aku, semua selalu mendapat perhatian yang sama ketika setoran dibeliau. Dan aku tau itu karena aku sering memperhatikannya. Ini adil. Beliau bisa bersikap adil ke semua anak-anaknya. Semua mendapatkan perhatian yang sama. Maka sejak saat itu pun, setelah tugasku di dalam organisasi ekstra kampus sebagai sekretaris dalam acara perekrutan member baru selesai, aku memutuskan untuk mulai tidak aktif lagi di organisasi tersebut. Alasanku cuma satu tadi, mustahiqku tidak suka kalau aku ikut itu. Karena yang terpenting menurutku adalah ridhonya guru. Mungkin ini karena setoranku yang tidak kunjung dol juga.
Dan pada akhirnya teman-teman yang lain pun ada juga yang setiap hari setoran di beliau. Beliau selalu pulang terakhir dan menyemakkan setorannya anak-anak yang mau. Bahkan ketika ujian pun begitu. Beliau tetap mau menyemakkan setoranku padahal beliau tidak sedang berjaga dikelasku. Menungguku di depan kelas sampai Ustadz yang jaga di kelasku keluar.
 Sekitar 3 bulan diniyah aku sudah selesai nambah nadzomnya. Belum melalar.
Wa’alihiil gurri kiromil baroroh, washohbihii muntakhobii nal khiyaroh.”
“Selesai. Kapan mau setoran ke madrasah?” tanya Ustadz  Ahmad.
 “Setor 750 nadzom dulu apa langsung 1000 tadz di madrasahnya?”
“Kalau 750 di Ustadzah?”
“Iya tadz. Kan bisa buat tiket saya naik kelas dulu. Dan bisa buat nambah presentase muhafadzoh kelas kita.”
“Ya sudah. Setoran 750 dulu saja. Jangan hanya naik kelas. Tapi harus wisuda juga.” Dan itu artinya aku harus dol 1002 nadzom kan tadz? Batinku. Hmmm.
28 Agustus 2017
Alhamdulillah, langkahku untuk menuju 1002 nadzom kurang seperempat jalan lagi.  Setoran 750 nadzom di Ustadzah Dewi. Aku sampai capek sekali. Sampai ngos ngosan.  Entah kenapa tak seperti setoran 500  nadzom kemaren. Yang sekarang sampai tak kuat bicara, suara serak, dan nafas yang tak terlalu panjang. Mungkin karena aku kurang enak badan dan flu juga. Menyelesaikan 750 nadzom dalam waktu hampir satu jam. Tidak lancar. Meloncat kemana-mana. Untung Ustadzahnya baik, kalau tidak mungkin seharusnya aku mengulang. Seminggu sebelumnya aku memang tidak setoran di Ustadz juga. Aku juga tidak bilang kalau setoranku hari ini. Tapi aku maju ketika memang kelompokku yang terjadwal setoran di beliau. Aku sudah berfikir, pasti Ustadz akan memarahiku atau sekedar bertanya kenapa aku gak setoran seminggu ini. Tapi sebelum itu, aku langsung memberikan blangko setoranku dan beliau tersenyum lebar. Sungguh bahagia sekali melihat senyum beliau ketika mendapatkan blangko setoran seperti itu. Karena saya tau itu sulit. Mungkin hanya setengahnya saja yang pada akhirnya setoran di madrasah. Sisanya bisa naik kelas karena kebaikan dan keluasan hati beliau. Bahkan mustahiq yang lain pun juga kagum atas kebaikan dan kesabaran beliau.
**
Target awal aku dol dan setoran ke madrasah adalah sebelum tes kitab daur (ujian semester) awwal. Tapi gagal. Target kedua setelah daur awwal tepat dan sebelum study banding pun gagal. Aku pernah update status di facebook begini “ketika semangat itu mulai berkurang bahkan hilang.”
Beliau mengomentari.
“Kenapa? Jadi pengen tau alasannya.”
“Banyak tadz. Panjang ceritanya.” Balasku.
Besoknya ketika aku setoran pun beliau benar-benar bertanya lagi.
“Kenapa? Ada apa? Ceritanya didepan kelas di sebelah kantor saja ya?” karena hanya kita yang ada di kelas dan kelas lain sudah pulang semuanya. Gak enak juga sudah malam.
“Iya Ustadz.” Aku dan temanku pun segera menunggu beliau disana karena beliau masih menyemakkan temanku yang lain.
Disitu pun aku bercerita banyak hal. Tentang hafalan alfiyyah ku dan segala permasalahannya. Entahlah, aku merasa nyaman saja bercerita dengan beliau. Menurutku beliau adalah pendengar terbaik. Aku ditemani temanku malam itu. Jelas banyak yang melihat karena kita ada di depan kelas. Tak ada yang mempermasalahkan juga karena beliau adalah mustahiqku.
Tapi teman-teman dikelas meresponnya lain. Kata mereka aku anak kesayangan beliau. Apa-apa selalu ke akuuuu sajaa. Kalau ada apa-apa selalu akuu saja yang ditunjuk. Sampai di semakkan setorannya setiap hari, dan lain sebagainya. Mereka merasa kalau beliau perhatiannya lebih banyak ke aku saja. Padahal sebenarnya menurutku tidak terlalu seperti itu juga. Sampai temen-temen sering menulisi buku-bukuku dengan nama-nama beliau. Aku pun cerita ke beliau tentang hal itu  dan akhirnya beliau pun merubah sikap. Sudah jarang menunjukku lagi. Padahal bukan seperti itu juga sebenarnya yang aku harapkan. Tapi ya sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur.
Entah kenapa memang dikelas 2 wustho ini pun aku semakin semangat berangkat diniyah. Meski keadaan tidak terlalu sehat juga aku tetap mengusahakan berangkat. Tidak pernah tidur juga ketika di kelas. Padahal ketika sorogan dan ihfadz, aku terkenal yang paling suka tidur di kelas, tapi berbeda dengan diniyah.
“Aku tidur dulu. Nanti isya’ bangunin ya? habis minum obat kok aku ngantuk sekali.” Kataku kepada teman sekamar dan sekelasku diniyah.
“Gak usah diniyah mbak. Istirahat saja. Nanti aku buatkan surat.”
“Janganlah. Aku sudah minum obat. Nanti setelah tidur pasti baikan.”
Untungnya ketika adzan isya’ pun aku sudah bangun tanpa di bangunkan temanku. Dan aku pun langsung ke kamar mandi.
“Gak usah diniyah mbak. Sudah ku belikan surat. Jangan keras kepala.” Kata temanku mengingatkan.
Jangan khawatir. Aku kuat kok.” Kataku.
“Demi apa coba? Kok sakit-sakit gini tetap mau berangkat? Demi Ustadz Ahmad ya?”
“Demi alfiyyah lah.” Jawabku santai. Rasanya aku pun sudah menjadi sangat kebal dengan gojlokan dan bulying dari teman-teman yang selalu mengaitkan aku dengan Ustadz Ahmad seperti itu. Tapi dulu pernah juga ketika aku sudah benar-benar tidak kuat berangkat dan akhirnya memutuskan untuk tidak berangkat diniyah. Ustadz Ahmad mengirimkan pesan.
“Sofi kenapa tidak masuk diniyah?”
“Sakit, Tadz.”
“Ya allah sakit apa? Sudah periksa ke dokter?”
“Sudah kok, Tadz.”
Besoknya ketika dikelas sepulang diniyah beliau bertanya lagi.
“Kenapa kemaren tidak masuk fi?” dengan wajah khawatirnya.
“Sakit Tadz.”
“Tapi sudah buat surat izinnya kan?”
“Sudah Tadz.”
Perhatiannya. Tapi ingat !!
 Ini semua hanya hubungan sebatas antara murid dan guru saja ya. Tidak pernah lebih dari itu. Karena beliau juga sudah pernah bilang ke aku “Wajar kan kalau saya mungkin kasih perhatian lebih ke siswa saya yang paling rajin, paling patuh kepada gurunya, tidak pernah tidur dan selalu aktif di kelas? Hanya karena itu saja. Tidak lebih.” Aku pun tak pernah berharap lebih dari semua perhatian beliau. Karena aku tau beliau baik ke semua orang. Bukan khusus untuk aku saja dan bukan aku prioritasnya.
**
 “Besok Ustadz Ahmad ulang tahun. Setiap anak wajib membuat kado untuk Ustadz ya? Apapun itu terserah kalian. Yang penting sopan.” Kata ketua kelas ketika mengumumkan di depan kelas. Teman-teman pun mulai ramai riuh kembali membahas kado apa yang akan mereka berikan.
**
Di asrama.
“Lagi apa sih Sof?” Tanya teman sekamarku. Memang aku membukusnya tidak dengan kertas kado yang bagus jadi wajar mereka pun aneh melihatnya
“Gak apa-apa.” Jawabku cuek dan masih focus dengan apa yang aku kerjakan.
“Bungkus kado ya? Hayo buat siapa?”
“Buat mustahiqmu.”
“Ciyee. Mustahiqmu lagi ulang tahun? Dan kamu ngasih kado gitu?”
“Eh jangan mikir aneh-aneh. Semua memang harus buat. Setiap anak membuat kado masing-masing untuk beliau.”
“Oh pantesan tadi Umi di kamar  sebelah kayaknya juga lagi bungkus kado gitu.”
“Lah kan apa ku bilang? Emang semuanya harus membuat, individu.”
**
21 September 2017
Dikelas.
Ketua kelas datang dengan membawa kue tart dan kresek merah besar untuk tempat kado teman-teman nanti.
“Kadonya di kumpulkan jadi satu disini ya?” kata ketua kelas dengan menunjukkan kresek merah besar yang dibawanya.
“Nanti ketika Ustadz sudah hadir jangan ramai ya. Semua diam. Tapi gimana cara buat Ustadz marah ya? Kita kerjain dulu gitu.”
“Ustadz takut kalau pintunya ditutup mbak. Phobia. Trus nanti lampunya dimatikan. Ketua kelas keluar dari belakang dengan membawa kue tart nya. Dan kita menyanyikan lagi selamat ulang  tahun bersama.” Usulan dari mbak Eka.
“Ide bagus.”
“Iya setuju.” Sahut teman-teman yang lain.
Ustadz pun datang dan rencana dijalankan. Mbak Eka sudah siap berjaga di belakang pintu. Ketika beliau duduk di bangkunya pintu pun ditutup.
“Eh buka pintunya.” kata Ustadz Ahmad dengan nada sedikit marah.
Lampu pun dimatikan. Ustadz Ahmad semakin bingung dan seperti ingin marah. Dan ketua kelas muncul dari belakang dengan kue tart dan lilinnya.
“Selamat ulang tahun.” Teman-teman pun menyanyi bersama. Beliau tersenyum malu. Dan dilanjutkan dengan meniup lilin and make a wish.
“Terima kasih.” Kata beliau memulai pembicaraan ketika teman-teman masih ramai-ramainya. Dan teman-teman pun diam. “Jujur saja saya baru pertama kali mendapatkan kejutan seperti ini. Orangtua saja tidak pernah merayakan ulangtahun saya apalagi memberi kado. Terima kasih banyak.”
“Sama-sama Ustadz. Kemaren pulang kenapa Tadz? Lamaran ya? Ciye ciye” teriak teman-teman ramai.
“Bukan. Saya gak lamaran. Makanya doakan saya segera dapat jodoh.”
“Aamiin.” Teman-teman serempak menjawab.
“Tapi kalian tidak harus seperti ini juga. Nanti kalau di razia keamanan bagaimana? Kasian uang kalian juga daripada hanya untuk membeli kado dan hadiah seperti ini.”
“Tidak masalah Tadz. Sekali ini saja kok.”
“Trus ini kue nya bagaimana? Di makan bareng sekarang?”
“Buat Ustadz saja. Dan teman-teman Ustadz yang lain.”
Ketika pulang beliau kebingungan membawa hadiahnya.
“Ini saya gimana bawanya rek?”
“Bawa sendiri Ustadz.” Teman-teman pun langsung keluar dan meninggalkan beliau. Tersisa aku, ketua kelas dan satu temanku lagi.
“Bantu bawa Fi.” Kata beliau ketika tau aku masih dikelas.
“Dibantu teman-teman ini juga Tadz.” Jawabku dengan menunjuk 2 temanku yang lain. Kita pun mengantarnya sampai di kamar beliau yang berada disebelah kantor Madina.
**
“Mbak Sofi jadi ketua kelas ya? Karena aku menjadi pengurus di organisasi madrasah diniyah dan tidak boleh merangkap jabatan sebagai ketua kelas juga. Maka aku harus diganti.” Kata ketua kelas yang tiba-tiba duduk disamping bangku ku.
“Yang lain saja mbak. Aku mau kalau jabatan ketua kamarku sudah selesai juga.” Menurutku ketua kamar adalah tugas terberat. Karena kita yang selalu berhubungan dan berinteraksi langung dengan masalah-masalah para santri.
“Aku sudah bilang ke Ustadz Ahmad dan beliau setuju mbak. Tapi memang beliau menyuruh aku sendiri yang langsung bilang ke Mbak Sofi.”
“Kalau beliau sendiri yang meminta saya langsung saya pasti gak akan menolaknya mbak. Tapi kalau bukan langsung dari beliau, maaf saya gak bisa sampai masa jabatan saya sebagai ketua kamar selesai.” Bukan itu sebenarnya alasan utama kenapa aku menolaknya. Aku hanya khawatir hubungan kita semakin dekat dan semakin sering bertemu. Teman-teman pasti akan lebih merasa tidak enak lagi kepada saya dan beliau. Padahal yang kita bahas tentu juga hanya tentang kelas dan perkembangan teman-teman. Karena dulu aku sudah pernah menjadi ketua kelas dengan mustahiq laki-laki yang belum menikah. Gosip pun sudah tersebar dimana-mana tentang kedekatanku dengan beliau. Padahal yang kita bicarakan ya selalu tentang kelas, tak lebih. Dan aku gak mau ini terjadi lagi sekarang. Kecuali kalau memang beliau sendiri yang menunjukku langsung. Aku pasti tak akan menolak karena ini amanat langsung dari beliau. Tapi untungnya tidak. Apa beliau juga berpikir hal yang sama sepertiku? Entahlah.
“Saya akan membantu tugas selayaknya ketua kelas apapun itu mbak. Tapi tolong jangan mengatasnamakan nama saya. Ulfa saja gimana?”
“Gimana Ulfa? Mau kan?” Tanya ketua kelas.
Setelah melalui beberapa negosiasi akhirnya Ulfa pun mengangguk dan menyetujuinya.
**
Target ketigaku untuk setor ke madina adalah sebelum libur maulid. Dan Alhamdulillah.
“Saya sudah siap setoran ke madrasah Tadz.”
“Beneran sudah siap?”
“Insyaa allah Tadz. Penyemaknya yang dari madina saya cari sendiri atau Ustadz?”
“Saya saja nanti yang carikan.”  Untungnya beliau yang mencarikan. Karena kalau saya harus cari sendiri, mau cari dimana? Kemana? Saya tidak mengenal siapapun disini kecuali yang pernah mengajar di kelas saya.
Keesokan harinya.
“Sofi.” Panggil beliau yang masih duduk di bangkunya ketika pulang diniyah. “Besok ya jam pertama di Kantor Madina.”
“Siap Tadz.” Aku pun semakin semangat melalarnya lagi. Siang malam pagi siang dan malam lagi. Rasanya hidupku benar-benar untuk alfiyah saat itu. Bahkan ketika wiridan setelah sholat pun aku gunakan untuk melalar juga.
**
Malam ini aku sudah sangat bersemangat untuk berangkat diniyah. Sebentar lagi satu tanggungan terbesarku akan selesai. Aku tidak harus lagi sampai tidak tidur semalaman untuk menyelesaikannya. Dengan ditemani secangkir kopi penghilang rasa kantuk yang terus ku basmi sekuat tenaga.
“Ustadz Ahmad kok belum hadir-hadir juga ya?” kataku yang sedari tadi sudah lama menunggunya di depan kelas.
“Iya. Tumben gak seperti biasanya. Biasanya selalu on time.” Jawab temanku yang lain.
Aku pun mulai cemas menunggunya di depan kelas. Jam pertama hampir selesai tapi beliau belum juga hadir. Tapi ketika melihat beliau datang dari kejauhan aku sudah sangat senang luar biasa. Dan ternyata ketika beliau sampai, beliau langsung masuk kelas saja dan menghiraukanku yang menunggunya di depan kelas.  Padahal aku sudah menunggunya lama disitu. Aku pun mengikutinya masuk kelas juga. Perasaanku sudah mulai kacau. Apa beliau lupa? Kenapa beliau diam saja tak menyuruhku berangkat ke kantor. Beliau menerangkan pelajaran. Fikiranku sudah tidak fokus ke pelajaran lagi. Sepertinya aku tidak akan jadi setoran malam ini. Sampai pulang aku tetap menunggu beliau memanggilku. Tapi nyatanya tidak. Akhirnya aku pun memaksakan diri untuk bertanya.
“Gimana Tadz? Setoran saya???”
“Saya tadi menunggu Ustadz Aziz yang akan menyemakkan setoranmu di kantor tak kunjung datang. Makanya saya juga telat masuk kelas tadi. Pas dia sudah datang menemui saya, katanya gak cukup waktunya kalau malam ini. Karena jam ketiga kan sudah harus pulang untuk mengaji kitab barzanji. Besok pagi saja katanya setelah diniyah jam ke empat putra. Ustadz Aziz akan menunggu di kantor Madina.” Beliau menjelaskan. Ternyata dugaanku tadi salah.
“Kira-kira jam berapa ya Tadz? Saya ke kantornya gimana?”
“Apa saya jemput ke asramamu?”
“Eh tidak usah Tadz. Gimana kalau telvon ke asrama saya saja. Tapi saya gak hafal nomernya. Saya minta nomernya Ustadz saja nanti saya sms dan besok Ustadz kabari saya lewat sms saja kalau Ustadz Aziz sudah siap menyemakkan setoran saya. “
”Saya juga tidak hafal nomer saya. Tunggu saya di depan kamar saja ya. Nanti saya tuliskan dikertas. Saya liat dulu”
“Oh iya tadz.”  Aku pun menunggunya.
“Ini fi.” Kata beliau dengan memberikan secarik kertas dengan nomer beliau di dalamnya.
“Terima kasih tadz. Nanti langsung saya sms kan.”
Beliau mengangguk dan tersenyum.  Aku pun pulang. Sampai di asrama aku pun langsung meminta pengurus untuk memberikan sms ke nomer Ustadz Ahmad tersebut. Dan langsung dibalas oleh beliau. “Oke fi.”
**
Keesokan paginya setelah mengaji barzanji sekitar pukul 06.45 WIB
“Kapan mau setor Sof? Sini saya semakkan hafalanmu.” Kata temanku yang melihatku sedang melalar hafalan dan duduk di depan asrama.
“Doakan saja ya secepatnya.” Jawabku dengan menyerahan nadzomanku.
10 menit kemudian.
“Sofi dapat telvon.” Teriak salah satu pengurus.
Aku pun langsung berlari menuju kantor asramaku. “Dari siapa?”
“Ustadz Ahmad. Ciyee.”
“Eh apa sih?”
“Assalamu’alaikum tadz.”
“Wa’alaikumsalam. Sekarang Fi. sudah di tunggu Ustadz Aziz di Kantor Madina.” Tanpa pertanyaan basa basi dulu.
“Sekarang Tadz?” sungguh aku sangat kaget dan tiba-tiba begini.
“Saya sama siapa? Harus ngajak teman? Atau kalau sendiri saja boleh tadz?” Aku hanya tidak ingin merepotkan orang lain kalau harus menungguku setoran. Karena 1002 nadzom, pasti lama.
“Terserah kamu Fi. Sendiri juga tidak apa-apa. Bawa makanan ya buat Ustadznya. Terserah apapun itu yang penting bawa. Segera berangkat sekarang. Karena ada 2 anak juga yang akan disemakkan oleh Ustadz Aziz dan 1002 nadzom alfiyyah juga. Biar kamu yang awal dan tak menunggu lama lagi.”
Aku pun langsung beli jajan dan minuman di kantin. Padahal aku itu belum mandi, belum persiapan apapun dan aku ada jam kuliah jam 08.00 WIB.  Jadi aku pun langsung ganti baju, pakai sepatu dan bawa buku kuliah juga. Agar tidak telat masuk kuliahnya. Dan aku pun sendirian. Sedikit nekad juga. Memberanikan diri berangkat sendirian. Padahal aku belum tahu juga Ustadz Aziz itu yang mana, aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Aku kira akan ada Ustadz Ahmad disana. Tapi ternyata tidak. Hanya ada Ustadz Syaeroji di kantor. Aku pun memberanikan diri untuk bertanya “Assalamu’alaikum. Ada Ustadz Aziz?”
“Wa’alaikumsalam. Sepertinya ada. Saya tadi lihat di ruang sebelah. Coba panggil saja. Mau setor 1002 nadzom alfiyyah ya?”
Saya pun hanya tersenyum dan mengangguk.
“Semangat. Dan selamat. Semoga lancar”
“Terima kasih, Tadz.”
“Alhamdulillah. Dapat tambahan semangat.” batinku
Untungnya ketika aku salam diruang sebelah yang keluar langsung Ustadz Aziz dan beliau langsung paham kalau aku yang mau setoran.
“Sebentar. Tunggu di ruang depan saja.”
Aku pun menunggunya. Ternyata ada Gus Supri juga disana.
“Mau setoran apa? tanya beliau.
“Alfiyyah Gus.”
“Kelas 2 wustho?”
“Enggeh.”
“Asrama apa? Kok krudungnya merah? Sepertinya saya belum pernah lihat.”
“Asrama darul lughoh Gus. Yang di Kiai Afif.”
Ustadz Aziz pun datang dan langsung duduk di kursi.
“Sini. Duduk diatas saja jangan di bawah.”
Aku pun langsung duduk di kursi juga disamping beliau dengan cara yang mungkin sekitar 1 meter. Gak enak sebenarnya. Aku kira lebih sopan kalau aku yang duduk di bawah seperti ketika aku setoran 500 nadzom di Ustadz Najib dulu.
“Sudah siap?”
“Insyaa allah siap. Ini silahkan sambil dimakan dan diminum, Tadz.” Kataku sambil memberikan sebungkus kresek berisi makanan dan minuman. Seperti yang dikatakan Ustadz Ahmad tadi, ketika telvon.
“Ahh seharusnya tak usah repot-repot. Terima kasih.”
“Ustadz ini ada makanan.” Kata Ustadz Aziz yang menawarkan makanannya kepada teman-temannya.
“Siap Tadz.”
“Ayo dimulai.” Lanjut Ustadz Aziz.
“bismillahirrohmanirrohim. Qoola muhammadun huwabnu maliki ........ ………. ……….
Kaalan taro finnaasii mirrofiiqi. Aula bihi fadhlu minash shiddiiqi.”
“Sudah setengahnya. 30 menit tepat. Lanjut.”
750 nadzom ke atas konsentrasiku sudah mulai buyar. Sudah mulai tidak lancar. Tapi untungnya dibantu sama Ustadz Aziz. Karena beliau dari awal juga ikut lalaran. Jadi tidak hanya sekedar menyemakkan saja.
Wa’alihiil gurri kiromil baroroh, washohbihii muntakhobii nal khiyaroh.”
“Alhamdulillah selesai.” Kata beliau sambil melihat jam tangannya.
”1 jam lebih 5 menit. Ini diisi blangkonya.” Dengan menyerahkan sekertas blangko berisi biodata diri dan keterangan lain bahwa saya sudah setoran untuk selanjutnya di setorkan kepada pengurus muhafadzoh untuk mendapatkan sertifikat sebagai persyaratan wisuda.
“Sudah kuliah?” beliau bertanya dengan mengamati blangko ku  yang sudah ku isi penuh dengan keterangan lengkap seperti alamat, nama lengkap, dll.
“Sudah, Tadz.”
“Semester berapa?”
“Semester tiga.”
“Oh. Jurusan apa?”
“Tadris bahasa inggris, Tadz.”
“Oh ya udah. Ini blangkonya sudah saya tanda tangani.”
“Terima kasih, Ustadz.”
“Iya sama-sama. Terima kasih juga makanannya. Seharusnya gak usah repot-repot gini.”
“Tidak apa-apa Ustadz. Terima kasih banyak. Assalamu’alaikum.”
Aku pun keluar. Tepat pukul 08.00 dan aku harus segera masuk kuliah. Untung hanya 1 mata kuliah saja hari ini. Teman-teman kuliahku yang melihat aku keluar dari kantor madina pun bertanya.
“Habis ngapain Sof? Setoran ya?”
Aku hanya tersenyum malu.
“Alfiyyah ya? wah selamat ya. ditunggu mayorannya.”
Ah selalu saja begitu. Bukan hanya teman kuliah, teman kelas diniyah dan teman-teman di asrama dan kamar nanti pasti semuanya juga minta mayorannya. Dan memang sudah menjadi tradisi seperti itu.
**
“Gimana setoranmu Fi? Diterima?” tanya Ustadz Ahmad.
“Alhamdulillah Tadz. Terima kasih banyak untuk support dan waktunya selama ini. Maaf Sofi banyak mengeluh juga ke Ustadz.”
“Gak apa-apa Fi. Saya ikut senang. Saya bangga sama Sofi. Sofi Minta hadiah apa?”
“Kitab bajuri tadz.”
“Loh Sofi belum punya kitab bajuri?”
“Hehe. Belum tadz. Tapi kemaren orangtua saya sudah bilang kalau mau membelikan kitab itu ketika saya dol alfiyah”
“Bilang ke orangtuamu tidak jadi. Biar aku saja yang membelikannya.”
Entah kenapa aku langsung spontan saja menyebutkan kitab itu. Aku sudah lama sekali ingin membeli kitab itu. Karena mahalnya, aku pun masih harus menundanya dulu sampai sekarang. Sampai orangtua pun ternyata lupa juga untuk membelikannya. Karena harganya yang gak murah. Akupun akhirnya meminta Ustadz Ahmad untuk memberi kitab selain kitab itu saja. Kitab untuk 1 ulya saja yang tak terlalu mahal. Berulang kali aku sudah bilang tidak usah. Tapi beliau tetap keras kepala dan membelikannya. Karena sudah terlanjur janji katanya.



**
Setelah liburan maulid.
“Sofi.” Panggil beliau setelah pulang diniyah. Seperti biasa karena beliau pulang terakhir.
”Kitabnya sudah ada Fi. Tunggu di depan kamar saya. Tapi saya menyemakkan setorannya mbak Lia dulu ya. Kamu sendiri saja.”
Khawatir kalau ada teman-temanku yang lain melihat dan iri. Maka aku harus sendirian kesananya. Karena gak mungkin juga untuk yang dol selanjutnya akan dikasih kitab bajuri trus. Ini karena aku yang pertama dol dikelas. Ketika pulang diniyah aku sudah menunggu di depan kamar beliau di sebelah kantor madina.
“Ini Fi.” Sambil menyerahkan kitabnya. “Bungkusnya dibuang saja biar tidak terlihat baru.”
“Iya, Tadz. Terima kasih banyak.” Aku pun pulang dengan perasaan yang sangat bahagia.
“Ciyee Mbak Sofi. Hayo apa itu? Kok sama Ustadz Ahmad?” ternyata ada temanku dari kelas sebelah yang melihatku dengan Ustadz Ahmad tadi.
“Oh ini nih kitab. Ustadz Ahmad titip untuk adiknya.”
Sampai di kamar pun begitu. Banyak yang bertanya juga. Kitab apa dan milik siapa.
“Maafkan saya Tuhan, yang harus berbohong untuk menutupi semuanya dari teman-teman.” Batinku
**
Kitab ini benar-benar bermanfaat. Aku menggunakannya setiap hari untuk syawir. Karena sebelumnya, aku biasanya meminjam atau ikut barengan teman-temanku yang punya. Sekarang alhamdulillah aku sudah punya sendiri.
“Kitabmu baru Sof? Berapa harganya? Beli dimana?” tanya temanku ketika syawir. Memang hanya Ustadz Ahmad saja yang memanggilku Fi. Yang lain biasanya Sof, Sofi.
“Gak tau. Ini di kasih sama mas ku (kakak laki-laki).”
“Bagus sekali. Ini pasti mahal Sof.”
“Entahlah. Aku tak berani bertanya tentang harganya juga. Maaf.”
“Ciyee. Emang sejak kapan kamu punya kakak laki-laki?”
“Ya punya lah. Cuma bukan saudara kandung.”
Karena nama dan tanda tangan beliau yang dikitab itu sudah ku tutupi dengan kertas. Jadi aman. Gak akan ada yang tau kalau itu dari beliau.
**
Aku menyelesaikan 1002 nadzom alfiyyah ku selama kurang lebih 17 bulan. Lama sekali. Mulai hafalan 29 Juni 2016 dan selesai tanggal 27 November 2017. Aku menjadi orang ke enam yang setor ke madina diantara kurang lebih 250 an siswi kelas 2 wustho yang lain. Setelah akhirnya yang ikut wisuda ada 49 siswi. Tapi ini merupakan pencapaian yang sangat luar biasa bagi angkatan kami khususnya. Karena biasanya hanya sekitar 20 an siswi tapi sekarang bisa 2 kali lipatnya. Hebat.
Selain alfiyyah, kebetulan aku juga ikut amtsilati yang membahas dasar-dasar  ilmu nahwu dengan nadzom alfiyyah dan makna jawanya. Aku juga ikut IHFADZ (Ikatan Huffadz) Alfiyyah yang juga membahas alfiyyah secara lebih singkat dengan keterangan singkat yang wajib juga untuk dihafalkan. Semuanya menuntut kita untuk hafal dulu, baru paham. Seharusnya aku benar-benar menguasai alfiyyah dengan pemahamannya karena banyak jalan yang aku ikuti. Tapi ternyata tidak juga. Semuanya aku ikuti dan ternyata malah semuanya tidak maksimal. Karena hanya sekedar hadir dan rajin saja tidak cukup kalau tidak dibarengi dengan belajar yang rajin, tekun dan istiqomah.
Untuk kalian yang saat ini sedang menghafalkan alfiyyah, aku tak ingin kalian gagal menikmati indahnya Alfiyyah Ibnu Malik. Aku tak ingin kalian seperti nasibku, yang hanya bisa memahami sejengkal dari dalamnya Samudra Nahwu Shorof ala Ibnu Malik. Aku ingin kalian terus semangat! Terus istiqomah. Terus berusaha semaksimal mungkin untuk menyelami samudra ilmu Alfiyyah. Semangatmu kelak akan tak semembara semangatmu dahulu. Percayalah. Tak usah menunggu waktu lama untuk menjadi lebih baik. Bagimu, sekarang adalah waktu terbaik untuk terus berpacu. Tidak ada waktu terlambat. Terus kejarlah seribu bait Alfiyyahmu itu. Tak usah berharap banyak pada Ulya dan tingkatan-tingkatan setelahnya. Tak usah bermimpi bahwa Ulya besok kalian menjamin akan lebih baik. Tapi mulailah dari sekarang dan terus semangat pantang mundur.



Komentar